Pendidikan Agama Islam itu Bukan Mata Pelajaran

Komentar · 1173 Tampilan

Saya pernah gagal mengajarkan Islam pada anak-anak. Tapi kegagalan itu harus menjadi bahan evaluasi kami bahwa model pembelajarannya harus diubah sehingga anak-anak kami menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah. Sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Simak rahasianya ...

Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran tentu ada disetiap sekolah di Indonesia. Baik sekolah Islam maupun sekolah negri. Yang pasti tidak ada Pendidikan Agama Islam-nya ya tentu sekolah-sekolah non Islam, seperti sekolah katholik, sekolah Kristen, sekolah hindu dan sebagainya.

Pernahkan bapak ibu memperhatikan mengapa sebagian besar anak-anak kita tidak menyukai Pendidikan Agama Islam di sekolahnya? Coba terjun ke lapangan. Datangi sekolah anak kita dan perhatikan dengan seksama dan dalam tempo seteliti mungkin (jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan).

Anak-anak saya tidak menyukai pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) sejak mereka duduk di kelas 1 sekolah dasar. Bukan karena membencinya, sebab mereka ini sangat suka mempelajari hal-hal baru,. Tetapi karena anak-anak saya tidak suka segala bentuk pelajaran yang abstrak, tidak nyata dan kurang bisa dipahami dengan akal mereka. Apalagi disampaikan dengan menghukum anak yang tidak memahami. Tampak pendidikan Agama Islam semakin HORROR.

Lho? Apakah Agama Islam itu perlu dipahami dengan akal (baca logika)? Bukankah Agama Islam itu segala hal yang berkaitan dengan akhirat saja dan hanya perlu diyakini dengan iman? Berkaitan dengan pahala saja? Kapan anak-anak kita mendapatkan pahala mereka dari hasil ibadahnya?

Kasus demi kasus saya alami dengan anak-anak saya segala hal yang berkaitan dengan pendidikan Agama Islam. Saya bingung kenapa semakin besar mereka semakin tidak menyukai pendidikan Agama Islam?

Agama Islam itu Mata Pelajaran yang Tidak Menarik dan Abstrak

Hampir 7 tahun saya mencoba menganalisa kasus-kasus ini. Dan selama 7 tahun itu pula saya mencoba berdialog dengan anak-anak saya mengenai ke-Islam-an. Tetapi dengan gaya dialog ala saya sendiri. Bukan gaya mengajar seperti guru Agama Islam di sekolahan.

Setiap kali berdialog tentang Islam dengan anak-anak saya, mata mereka selalu tampak berbinar-binar. Padahal saya bukan guru Agama Islam. Saya bukan ustadz. Dan saya bukan GUS anak kyai. Gus di depan nama panggilan saya itu karena memang orang memanggil saya demikian. Entah kenapa.

Mari perhatikan. Pendidikan Agama Islam yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia ini tidak banyak melakukan pendidikan dengan metode KETELADANAN. Pendidikan Agama Islam hanya disampaikan ala kadarnya. Menghafal tahun-tahun dalam sejarah Islam. Menghafal ini itu dalam budaya Islam. Menyuruh murid (menyuruh lho ya, guru bukan mengajak murid) menghafal banyak ayat. Setoran hafalan ayat. Dan semua itu ditujukan untuk meraih nilai ulangan harian atau sertifikat tanda lulus hafal Qur’an.

Lha terus kapan pendidikan memperbaiki akhlaq seperti yang dikatakan Rasulullah Muhammad SAW bahwa beliau diutus untuk memperbaiki akhlaq umat manusia? Jika anak-anak kita sibuk menghafal tentang ke-Islam-an, kapan mereka dapat melihat KETELADANAN dalam ber-Islam?

Jika pendidikan Agama Islam masih dilakukan dengan pendekatan seperti saat ini, mungkin sampai kapan pun peradaban Islam tidak bisa maju. Seperti yang pernah dikatakan kyai guru saya:

“Nak Bekti, kalau pendidikan agama Islam masih seperti ini, sampai kiamat kurang 2 hari pun peradaban Islam gak bakalan maju. Kita harus mengganti pola belajar dalam pendidikan agama Illahiah ini, nak.”

Perkataan kyai guru saya inilah yang memicu saya untuk menganalisa mengapa anak-anak saya tidak menyukai pendidikan Agama Islam. Di sinilah tampak semakin jelas kegagalan pendidikan Agama Islam karena dipandang dan disampaikan sebagai MATA PELAJARAN. Bukan sebagai seperangkat aturan Allah SWT yang harus disampaikan dengan KETELADANAN setiap pemeluknya.

Alhamdulillah, sekarang anak-anak saya sangat menyukai Islam. Terutama anak nomor 3, Ganendra (lahir 8 Nov 2010) setiap sholat 5 waktu selalu mengajak saya sholat berjamaah di masjid. Bukan saya yang mengajak, tetapi anak saya yang mengajak. Baca tulisan saya mengenai trik mengajak anak sholat di masjid.

Anak kami ke 4, Khansa Anandita, lebih dahsyat lagi. Setiap malam dia bangun sekitar jam 02:00 untuk sholat Tahajud. Tak ada yang nyuruh. Tak ada yang memerintahkannya. Dia hanya meneladani. Selain itu, dzikir dan sholawatnya juga rajin. Khansa baru berusia 9 tahun.

Apakah itu semua hasil dari penyampaian pendidikan Agama Islam yang saya lakukan penuh KETELADANAN? Wallahu'alam

Sumber: AjariAkuIslam.com

 

 

Komentar