Banyak yang Ilmiah di Luar Kelas

Komentar · 1206 Tampilan

Deny Suwarja, seorang guru SLTP Negeri di Cibatu, Garut, mengajukan sebuah penelitian bertajuk Environment Education for Developing Awareness and Growing Students Attitude to Preserve the Water on Earth. Tapi apa tanggapan publik?

Beberapa penelitian menunjukkan, sains menjadi lebih bermakna dan mudah dipelajari bila dilakukan di luar kelas secara informal. Pembelajaran sains diluar kelas secara informal ini mampu membantu mengembangkan kemampuan bahasa, membaca, matematika dan kemampuan dasar lainnya.

Selain itu, pembelajaran secara informal dapat juga menyokong secara signifikan terhadap pola sikap keteladanan secara berkelanjutan. Berdasarkan pemahaman ini, dua guru sekolah menengah dari dua negara berbeda sepakat untuk berkolaborasi, melakukan penelitian tentang pola belajar mengajar di luar kelas secara informal.

Deny Suwarja, seorang guru SLTP Negeri di Cibatu, Garut, mengajukan sebuah penelitian bertajuk Environment Education for Developing Awareness and Growing Students Attitude to Preserve the Water on Earth.

Dalam sebuah pertemuan para ahli pendidikan se-Asia-Eropa, Deny menemukan jalan buntu ketika penelitiannya tidak mendapat sambutan bahkan dukungan yang diharapkan dari rekan-rekan sejawatnya. Ternyata, tidak hanya Deny saja yang mendapat perhatian yang jauh dari harapan. Chona L. Maderal, seorang guru dari Makati Science High School di Filipina juga mendapatkan 'sambutan' serupa dengan penelitiannya Chemistry Beyond the Classmom:A TeleCollaborative Link Between the School and the Global Community.

Merasa senasib sepenanggungan, keduanya memutuskan untuk berkolaborasi, menggabungkan kedua penelitian tersebut menjadi satu penelitian yang lebih solid, yakni Science Beyond the Classroom.

Kolaborasi ini memang memungkinkan mengingat visi dan misi keduanya yang sama terbadap permasalahan dan pelestarian lingkungan. Menurut Deny, hal-hal yang diperoleh siswa dari model pembelajaran seperti ini bukanlah sekedar sesuatu yang bisa dinilai dengan angka.

 "Siswa benar-benar belajar suatu nilai, suatu value yakni menjadi diri mereka sendiri. Dan itu tidak akan pernah bisa dinilai dengan angka enam, tujuh, ataupun sepuluh. Mereka belajar menjadi dirinya sendiri dan mengerti seperti apa mereka," jelas Deny.

Menurut dia, metode pembelajaran seperti ini menggunakan active learning dimana siswa lebih banyak berperan aktif dibantu dengan teknologi informasi yang ada sehingga membuka paradigma siswa bahwa sains itu menarik dan tidak sulit.

"Dengan metode ini, mereka sendiri yang menemukan masalah, bukan gurunya. Guru hanya fasilitator. Dan akhirnya mereka juga menjadi lebih peka terhadap lingkungannya." Dia mencontohkan salah satu siswanya yang mengusulkan penanganan limbah plastik dengan membakarnya dan menggunakan uap panasnya untuk menggerakkan turbin listrik. Diharapkan dengan turbin itu dapat membantu pasokan tenaga listrik di daerahnya.

"Bayangkan, anak itu bisa berfikir sejauh itu. Meskipun dari segi efisiensi ide itu sulit dikembangkan. Berapa ribu liter minyak tanah yang harus digunakan untuk membakar semua limbah plastik tersebut. Ide itu memang mengundang tawa, tapi ide itu juga keluar dari seorang anak yang bersekolah di daerah pelosok di Jawa Barat.

"Pembelajaran seperti ini, jelas Deny, memungkinkan siswa untuk mengintegrasikan semua bidang studi seperti sains, komputer, sosial, budi pekerti, budaya, bahkan bahasa, dan mengdaptasikannya melalui strategi yang efektif, altenatif; eksperensial.

Selain itu, siswa juga memberi masukan kepada komunitas sekitarnya mengenai lingkungan yang sehat dan mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan.

"Metode seperti ini memberikan gagasan serta wawasan baru bagi siswa maupun guru itu sendiri." Dia mencontohkan penelitian yang dilakukan oleh para siswanya dengan dirinya sendiri hanya sebagai fasilitator.

"Saya mengajak murid-murid saya ke Sungai Cipacing di Garut untuk meneliti kualitas air di sungai tersebut." Sebagai fasilitator, Deny membiarkan murid-muridnya menyusuri sungai dari hilir ke hulu dan meneliti seberapa besar tingkat pencemaran yang terjadi di sungai tersebut dengan melihat teknik yang sangat sederhana, yakni melihat adanya bioindikator yang ada dalam sungai.

Deny memberikan beberapa pengantar bio lndikator sebagai patokan bagi muridnya seperti jenis-jenis ikan yang hidup didalamnya serta warna dan bau airnya. Semakin kecil tingkat pencemaran, jelas Deny, semakin banyak jenis ikan tertentu yang hidup dan berkembang biak di dalamnya.

Selain itu para murid juga dapat melihat warna serta baunya. "Mereka bisa melihat sendiri, bahwa semakin ke arah hulu, semakin sedikit ikan yang hidup di dalamnya. Atau pada daerah-daerah tertentu di mana mereka menjumpai jumlah ikan yang sangat sedikit."

Menurut dia, dengan sarana yang minim pun, murid tetap dapat menikmati pelajaran yang diberikan gurunya.

Komentar