Anak terlahir dalam keadaan tidak tahu, bukan bodoh. Mereka menjadi bodoh akibat bersekolah

Komentar · 1211 Tampilan

Energi berlimpah dimiliki setiap anak. Namun, terkadang orangtua dan guru justru lupa dengan prilakunya sendiri sehingga dapat menyurutkan energi anak yang semula melimpah menjadi tak bertenaga. Energi anak menyurut, energi untuk belajarnya juga makin redup. Ini tulisan pertama dari 3 tulisan (1/3).

Ciri-ciri Anak Cerdas

Apakah anda memiliki anak yang cerdas? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, kita harus tahu terlebih dulu ciri-ciri dari anak cerdas. Berikut adalah ciri-ciri anak cerdas menurut American Association of Gifted Children at Duke University:

  • Cepat belajar dan punya daya ingat yang kuat
  • Tampak lebih matang daripada usianya
  • Memiliki perbendaharaan kata yang banyak, menunjukkan rasa ketertarikan yang besar terhadap kata-kata, atau sudah bisa membaca sendiri tanpa harus disuruh
  • Suka mencoba-coba cara baru untuk memecahkan problem
  • Lebih suka bergaul dengan orang yang lebih dewasa
  • Perasaannya peka
  • Menunjukkan rasa keingintahuan intelektual yang besar
  • Punya rasa kasih sayang terhadap orang atau binatang
  • Menyukai teka-teki, tantangan-tantangan, dan angka-angka
  • Suka mempertanyakan otoritas
  • Mudah merasa bosan
  • Memiliki energi beraktivitas yang besar

Keduabelas ciri itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Artinya bahwa ciri-ciri itu tidak bisa dipisah-pisahkan atau dianggap bisa berdiri sendiri-sendiri. Seorang anak yang cerdas pasti memiliki keduabelas ciri di atas secara lengkap.

Meski American Association of Gifted Children at Duke University menyatakan bahwa ciri-ciri di atas merupakan tanda-tanda awal dari seorang anak cerdas usia pra-sekolah, namun sesungguhnya ciri-ciri di atas bisa diperluas jangkauannya hingga meliputi anak-anak usia sekolah. Hanya sayangnya, seperti kata Bertrand Russell,

Manusia terlahir dalam keadaan tidak tahu, bukan bodoh. Mereka menjadi bodoh akibat bersekolah.

Satu demi satu ciri-ciri di atas biasanya rontok justru pada saat anak menjalani proses persekolahannya. Semakin tinggi tingkat belajarnya di sekolah, seringkali berarti semakin banyaknya ciri kecerdasan yang lenyap. Orang tua lantas menyimpulkan bahwa anaknya tidak termasuk anak yang cerdas. Orang tua lantas mengeluh, ”Kamu tak secerdas saat kamu kecil dulu!”

Mengapa bisa demikian?

Studi Kasus A:

Adinda Putri adalah siswi suatu sekolah dasar favorit di Kota Bogor. Tahun 2005 yang lalu dia masih duduk di bangku kelas I. Prestasi pelajaran matematikanya sangat memuaskan. Nilai rapor matematika Adinda Putri dapat dijelaskan sebagai berikut:

 

 

Jika diperhatikan statistik nilai rapor matematika Adinda Putri di atas, meski memuaskan, terjadi penurunan nilai pada kelas III dan IV. Anehnya, ternyata penurunan nilai matematika teman-teman Adinda Putri juga terjadi pada kelas yang sama. Setiap siswa pada tahun berikutnya (adik kelas) juga mengalami fenomena yang sama secara umum. Sebagian besar siswa siswi sekolah dasar yang tadinya memiliki nilai tinggi pada saat kelas I dan II mata pelajaran matematika, selalu menurun pada kelas III dan IV (Data Observasi Rumah Akal Foundation 2007/2008 pada mata pelajaran Matematika siswa/siswi SDN, Kota Bogor).

Mengapa fenomena ini bisa terjadi dan selalu lepas dari perhatian guru dan orangtua? Seolah ciri-ciri kecerdasan anak-anak kita “menghilang” yang berakibat pada penurunan nilai mata pelajaran matematika. Meski nilai pelajaran matematika bukan bahan pertimbangan satu-satunya dalam merespon penurunan kecerdasan ini, tetapi setidaknya hal ini cukup mencerminkan adanya penurunan “kecerdasan”. Tetapi kondisi membaik pada siswa tertentu seperti Adinda Putri dapat diperbaiki di kelas V dan VI. Fenomena ini akan kita bahas pada bab-bab selanjutnya.

Pengertian dari Kecerdasan

Inti dari keduabelas ciri di atas ialah energi yang berlimpah. Energi berlimpah dalam jiwa, dalam perasaan, dalam pikiran, dan dalam tubuh fisik.

Energi berlimpah dalam jiwa membuat seorang anak suka mempertanyakan otoritas, dan tampak lebih matang daripada usianya. Mempertanyakan otoritas merupakan bentuk dari kekuatan energi jiwa atau kemauan anak untuk membentuk pandangan-pandangannya sendiri.

Mempertanyakan otoritas ini berbeda sama sekali dengan sikap ngeyel atau tidak mau percaya kepada orang lain. Sikap mempertanyakan otoritas lebih merupakan ekspresi dari sikap kehati-hatian untuk meletakkan kepercayaan kepada pendapat orang lain.

Sikap ini merupakan titik tengah antara sikap terlalu mudah percaya kepada orang lain dan sikap tidak percaya kepada siapapun. Dalam diri anak usia pra-sekolah, sikap ini biasanya tampak dalam ekspresi wajah anak yang ragu-ragu ketika diajak atau diberitahu tentang suatu hal.

Energi berlimpah dalam jiwa juga mendorong anak tampak lebih matang daripada usianya. Yang dimaksud tampak lebih matang di sini ialah kemampuan untuk mengendalikan dorongan-dorongan impulsif dirinya sendiri. Dalam anak kecil, kemampuan ini tampak misalnya dalam kemampuan anak untuk menjaga sikap ketika ada tamu.

Energi berlimpah dalam perasaan membuat seorang anak memiliki perasaan yang peka, dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada orang atau binatang. Kedua perasaan ini saling berhubungan satu sama lain. Perasaan yang peka di sini harus dibedakan dengan sikap manja atau cengeng. Sikap manja atau cengeng bersumber bukan pada perasaan, namun lebih pada kemalasan untuk mandiri dan ketidakpedulian bahwa sikapnya merepotkan orang lain.

Dengan kata lain, sikap manja atau cengeng menunjukkan ketiadaan empati. Sementara perasaan yang peka merupakan nama lain dari kekuatan empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami orang lain dari sudut pandang orang lain itu sendiri. Empati adalah kemampuan untuk turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.

Energi berlimpah dalam pikiran membuat seorang anak selalu punya rasa ingin tahu yang besar secara intelektual, suka tantangan, dan mencoba-coba cara baru. Hal ini tak sulit ditemukan ekspresinya dalam diri anak-anak usia pra-sekolah. Energi berlimpah dalam pikiran ini biasanya berkombinasi dengan energi berlimpah dalam beraktivitas, dan inilah yang sungguh melelahkan bagi orang-orang dewasa yang tak mengenal dunia anak-anak.

Energi berlimpah inilah yang membuat anak-anak seperti tampak tak pernah lelah meski bermain seharian.

Berdasarkan konsep energi berlimpah ini, maka sesungguhnya setiap anak terlahir dengan kapasitas kecerdasan. Itulah sebabnya dalam tiga tahun pertama, anak mengalami peningkatan yang sangat hebat dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan di dalam dirinya. Dari tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan, dari tidak bisa berkata-kata menjadi bisa berkata-kata, dari tidak mengerti makna kata menjadi mengerti makna kata-kata, dan seterusnya.

Mungkin bagi banyak orang tua, hal itu dipandang sebagai suatu kewajaran. ”Semua anak juga begitu!” Padahal, sesungguhnya jika orang tua mau merenungkan, hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa.

Bagaimana bisa bayi yang tak berdaya bisa mengembangkan semua kemampuannya itu dalam waktu singkat? Bagaimana otot-otot yang tak berdaya itu kemudian bisa menopang tubuhnya dan kemudian berjalan dan berlari dengan begitu lincah? Bagaimana otak bisa mengorganisir kerja dari sekian banyak otot sehingga mampu melakukan hal-hal yang lebih kompleks daripada yang bisa dilakukan saat masih bayi? Apa yang terjadi pada otak anak? Darimana asalnya peningkatan kemampuan otak anak itu?

Jawabnya ialah karena Tuhan telah menganugerahi anak kekuatan energi berlimpah yang memungkinkan otak anak sangat perseptif terhadap stimulus-stimulus. Energi berlimpah, itu rahasianya.

Gambaran energi berlimpah dapat digambarkan sebagai “kekuatan sebenarnya” otak manusia. Pada tahun 1974, Peter Anokhin, ilmuwan otak terkenal berkebangsaan Rusia, menghitung kepandaian manusia berdasarkan kemampuan pembuatan pola atau tingkat kebebasan pikiran di seluruh otak seorang manusia.

Begitu besarnya sehingga jika ditulis dalam ukuran karakter teks normal akan membentuk deretan angka 1 dengan diikuti angka nol sebanyak 5.040 milyar! (1 x 10 pangkat 5.040.000.000.000). Tidak ada seorang pun yang mampu menggunakan otak secara maksimal. Tidak ada pembatasan kekuatan otak manusia, kekuatan ini tidak terbatas.”

Betapa besar dan berlimpahnya energi yang tersimpan dalam otak anak-anak kita! Apakah energi berlimpah ini dapat susut seiring bertambahnya usia? Sekali lagi, bab-bab berikutnya dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Energi berlimpah dalam diri, inilah inti dari kualitas yang disebut sebagai kecerdasan. Energi berlimpah ini saling berhubungan satu sama lain. Energi berlimpah dalam jiwa turut mempengaruhi energi dalam perasaan, dalam pikiran, dan dalam tubuh fisik. Dan begitu sebaliknya. Kombinasi harmonis dari seluruh energi berlimpah itu menimbulkan situasi yang disebut gembira, dan pertumbuhan harmonis dari seluruh energi berlimpah itu disebut sebagai keunggulan (excellent).

Karena kecerdasan itu intinya adalah energi yang berlimpah, maka kebodohan itu artinya adalah energi yang defisit, energi yang bukannya menyumbang dan memperkuat energi di wilayah yang lain, namun malah sebaliknya, yaitu menghisap dan melemahkan. Bagaimana defisit energi ini bisa terjadi?      

Mengapa anak yang kecilnya cerdas bisa surut kecerdasannya seiring tambah usia?

Mengapa kecerdasan anak semakin surut saat semakin dewasa? Jawabnya sederhana. Karena orang-orang dewasa terdekat dengan anak bukannya memupuk pertumbuhan dan perkembangan energi berlimpah dalam diri anak, namun sebaliknya malah menghalangi dan menghambat energi dalam diri anak.

Gambaran mengenai permasalahan menyusutnya energi ini dapat digambarkan sebagaimana persamaan matematis berikut:

 

IQ, Kata benda (1916): Angka yang digunakan untuk mengungkapkan kecerdasan relatif yang tampak jelas dari seseorang yang ditentukan dengan membagi usia mentalnya seperti dilaporkan pada tes yang telah dibakukan dengan usia kronologisnya dan mengalikannya dengan 100.

Memahami difinisi IQ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia itu terasa menyesakkan dada. Sulit dan rumit. Nah, supaya lebih mudah, kita bahasa matematika-kan saja difinisi tersebut.

Misalkan, Naufal adalah anak berusia 10 tahun memiliki IQ=180. Apa makna nilai IQ=180 pada anak usia 10 tahun? Mari kita hitung berdasarkan rumus di atas. Usia Kronologis adalah usia seseorang yang dihitung berdasarkan tanggal kelahirannya. Jadi jika Naufal berusia 10 tahun berarti Usia Kronologisnya (UK) adalah 10. Sedangkan nilai IQ hasil test-nya adalah 180. Maka dengan mudah dapat dihitung sebagai berikut:

180 = Usia Mental (UM) / 10 x 100%

UM = 180 / 10

UM = 18

Jadi makna usia Naufal yang masih 10 tahun memiliki IQ 180 adalah: meski usia Naufal masih 10 tahun, dengan IQ 180 itu artinya Naufal memiliki kemampuan berpikir setara dengan remaja usia 18 tahun (Usia Mental=18), sesuai dengan difinisi Usia Mental (UM) yaitu kapasitas otak yang diukur berdasarkan usia rata-rata anak yang memiliki standar pemikiran yang sama.

Sekarang bayangkan, seandainya Naufal sudah merasa cerdas sehingga dia memilih tidak usah belajar hingga usia 12 tahun, itu artinya UK Naufal berubah menjadi 12. Berapakah IQ Naufal sekarang?

IQ = 18 / 12 x 100%

IQ = 150

Tampak bahwa IQ Naufal menurun. Sebelumnya ketika dia berusia 10 tahun memiliki IQ 180 tetapi menurun menjadi 150 ketika dia berusia 12 tahun (karena selama 2 tahun dia tidak mau belajar). Coba kita masukkan usia Naufal ketika dia berusia 17 tahun. Berapa IQ Naufal pada usia 17 tahun jika dia tidak mau belajar sama sekali hingga usia itu?

IQ = 18 / 17 x 100%

IQ = 10,6

Jelaslah dari persamaan matematika sederhana itu dapat disimpulkan bahwa IQ seseorang semakin turun seiring bertambahnya usia jika dia sama sekali tidak mau belajar (menambah ilmu). Atau kegiatan belajarnya tidak menarik minat sehingga dia jadi malas menggali pengetahuan. Jadi, inti dari pembelajaran adalah meninggikan Usia Mental agar IQ tetap bisa bertahan atau bahkan ditingkatkan meski Usia Kronologis semakin bertambah. Kegiatan meningkatkan nilai Usia Mental inilah yang harus sinergi dengan strategi membangkitkan energi berlimpah.

 

Komentar