Hati-Hati Jika Anak Sudah Kehilangan Rasa Empatinya, Anda yang Harus Bertanggungjawab!

Komentar · 1391 Tampilan

Kehilangan rasa empati tidak seharusnya dirasakan oleh semua anak. Prinsip dasar dari Hak Asasi Manusia adalah sejak dini anak dipupuk energi empatinya agar dapat peduli pada sesama. Tulisan ini adalah bagian terakhir dari 3 tulisan (3/3)

Lingkungan yang rendah empati. Energi perasaan anak sungguh luar biasa berlimpah. Inilah yang terkadang membuat seorang bayi bisa menangis keras-keras ketika terpisah dari ibunya.  

Dalam lingkungan yang ideal, keluarga akan menjadi lingkungan dimana energi perasaan yang berlimpah ini menemukan saluran untuk berkembang. Orang tua dan anak saling mengerti apa yang dirasakan satu sama lain.

Tak ada perasaan yang terlalu remeh untuk diperhatikan. Semua perasaan dihargai dan diberi tempatnya secara proporsional di dalam keluarga. Perasaan sedih sekecil apapun dihargai dan didengarkan.

Demikian juga perasaan kecewa, bosan, rindu, gembira, bahagia, dan seterusnya. Semua mendapatkan tempatnya, dan didengarkan. Tak harus ada yang disembunyikan karena terlalu sepele. Rumah menjadi tempat yang hangat dan akrab untuk setiap perasaan.

Ini berbeda dari lingkungan yang rendah empati. Dalam lingkungan keluarga semacam ini, perasaan anak dianggap sepele untuk diperhatikan oleh orang tuanya. Orang tua menganggap anak sebagai ”makhluk yang tidak tahu apa-apa” dan karena itu setiap ungkapan perasaannya adalah berlebihan atau tidak sepantasnya muncul.

Respon yang sering muncul dari orang tua di dalam lingkungan yang demikian ialah, ”Ah, begitu saja kok!” atau ”Sudah ah, jangan aneh-aneh!” Dan semacamnya.

Empati ialah kemampuan untuk bisa menghayati apa yang dirasakan oleh orang lain. Kemampuan ini memungkinkan manusia untuk berbagi suka dan duka bersama. Kemampuan ini memungkinkan seseorang menyadari bahwa sekecil apapun suatu perasaan, perasaan itu ada dan besar bekasnya terhadap jiwa.

Ketika orang tua rendah kemampuannya untuk berempati, orang tua akan sering merasa bingung mengapa anaknya begitu meributkan perasaan yang menurutnya sungguh terlalu remeh untuk diperhatikan. Orang tua menganggap anaknya terlalu perasa. ”Ah, cuma begitu saja kok!”

Tentu saja memang ada kasus-kasus dimana emosi anak terlalu berlebihan, namun menggeneralisir bahwa semua perasaan yang diungkapkan oleh anak terlalu berlebihan adalah sikap yang keliru. Energi perasaan berlimpah dalam diri anak yang sesungguhnya merupakan basis potensial bagi perkembangan kecerdasannya, terutama kecerdasan yang berhubungan langsung dengan kualitas-kualitas kepemimpinan, menjadi terblokir karena sikap dan tindakan orang tua yang rendah empati.

Dampak buruknya bisa menjadikan anak sebagai pribadi yang tertutup, menjadi pribadi yang dingin, atau menjadi pribadi yang kaku. Apapun yang terjadi, semua merusak terciptanya hubungan keluarga yang harmonis.

Menjadi pribadi yang tertutup ketika anak lebih memilih untuk berhenti mengungkapkan perasaan-perasaannya kepada orang lain. Anak kehilangan rasa kepercayaan bahwa orang lain akan memahami apa yang dirasakannya.

Dia merasa tak ada lagi gunanya mengkomunikasikan perasaannya kepada orang lain. Dia lebih suka menutup rapat-rapat apa yang dirasakannya di dalam dunianya sendiri. Ketika ketertutupan ini berlangsung begitu intens, ketertutupan perasaan ini akan berkembang ke dua kemungkinan arah, yaitu jika ke arah yang pasif berupa menjadi pribadi yang dingin, dan ke arah yang agresif berupa menjadi pribadi yang kasar.

Menjadi pribadi yang dingin artinya tak lagi peduli dengan apapun yang dirasakan oleh orang lain. Rendahnya empati orang tua menjadi teladan bagi anak bahwa tak salah menjadi orang yang tak punya empati.

Tak peduli dengan perasaan orang lain menjadi sesuatu yang wajar atau normal baginya. Sama sekali tak ada yang salah. Terlebih lagi karena dia menganggap bahwa apa yang dirasakan oleh orang lain itu sama sekali bukanlah dia yang menjadi penyebabnya.

Menjadi dingin artinya menjadi berjarak. Enggan untuk berdekat-dekat dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Hati dari pribadi yang dingin sulit sekali untuk tergerak oleh perasaan orang lain. Baginya perasaan itu sesuatu yang netral saja, hambar. Tanpa warna. Tanpa rasa.

Ke arah yang agresif, yang terbangun ialah pribadi yang kasar. Jika warna hidup utama dari pribadi yang dingin ialah hambar atau tawar, warna hidup utama dari pribadi yang kasar ialah warna kesenangannya sendiri. Pribadi semacam ini sering sekali suka menjadikan orang lain sebagai bahan olok-olokan hanya untuk bisa menyenangkan dirinya sendiri.

Dia sama sekali tak peduli dengan bagaimana perasaan dari yang diolok-olok. Baginya, yang terutama ialah bersenang-senang. Bahwa apa yang dilakukannya bisa melukai perasaan orang lain, hal tersebut sama sekali tak dipedulikannya. Mengolok-olok orang lain dan mendapatkan kesenangan dari mengolok-olok itu baginya merupakan sesuatu yang wajar.

Sebaliknya, ketika yang diolok-olok merasa jengkel dan marah, dia menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak wajar. ”Begitu saja kok marah!” demikian respon khasnya. Seolah-olah orang lain tercipta hanya untuk menjadi bahan olok-olokannya.  

Darimana asalnya sikap kasar seperti itu muncul? Dari keteladanan sekelilingnya yang membekas kuat di dalam dirinya. Lingkungan keluarga yang rendah empati salah satunya.   

Sumber: AjariAkuIslam.com

 

Komentar