Semalam Kang Tejo menelponku. Rasanya sudah bertahun-tahun Kang Tejo tak menghubungiku. Mungkin karena jarak kami berdua sekarang memang berjauhan. Aku di Malang, dia di Bogor.
Kang Tejo itu tukang ojeg konvensional yang ndak paham aplikasi Android untuk meningkatkan pendapatannya dari ngojeg. Maunya kerja mengandalkan otot, bukan kecerdasannya.
Tapi di balik ototnya yang masih diandalkan itu dia masih memiliki hati nurani yang halus.
Tahun 2009 yang lalu ketika kami sekeluarga masih tinggal di Bogor, saya sering bertemu dia dan menggunakan jasanya ngojeg dari Jalan Sholeh Iskandar (Jalan Raya Baru) menuju Jalan Manglid di Perumahan Budi Agung tempat saya tinggal.
Di tahun 2009 itu pertamakalinya Kang Tejo menghubungiku untuk minta diajari sholat. Ya, waktu itu dia belum bisa sholat 5 waktu. Sholat yang paling standar sehari-hari, dia tinggalkan.
“Piye tho, Kang, kok sampeyan iki ndak sholat? Lha anak sampeyan piye? Sholat, kan?”
“Iya mas Bekti, sing penting anakku iso sholat, belajar sama ustadznya di sekolah.”
“Ya bukan gitu, Kang. Kalau anak sampeyan sudah bisa sholat 5 waktu, mbok yo sampeyan ikut sholat sana. Minta ajari anak sampeyan saja.”
“Ndak mas Bekti. Aku malu. Aku mau belajar ke mas Bekti saja.”
“Lho? Aku bukan ustadz, Kang. Kan banyak ustadz di sekitar rumah sampeyan. Mbok ya belajar ke mereka.”
“Ndak mas, aku malu.”
“Malu opo males, Kang?”
Kang Tejo nyengir, cengengesan, sambil menjawab:
“Yo dua-duanya, mas Bekti. Lagipula belajar sholat ke ustadz di rumahku itu menakutkan.”
“Waduh, lha kok menakutkan? Piye maksudnya, Kang?
“Iya mas. Aku takut masuk neraka.”
“Lho? Mau sholat kok masuk neraka, Kang?”
“Lha ustadznya bilang begitu mas. Kalau ucapan doa bahasa Arab-nya salah itu artinya beda makna. Beda makna doa sholat itu ndak boleh. Sholatnya ndak sah. Aku bisa masuk neraka kalau sampai merubah makna doa dalam sholat. Begitu kata ustadz, mas.”
Saya kaget mendengar ucapan Kang Tejo waktu itu. Dan saya kasihan sama Kang Tejo. Dia sudah semangat mau belajar sholat di usianya yang sudah 42 tahun itu. Tapi dibatalkan karena takut masuk neraka karena belum fasih membaca doa berbahasa Arab.
Saat itu juga, di tahun 2009 itu saya ajak dia belajar sholat di rumah saya. Dengan keyakinan penuh bahwa Allah yang memiliki Maha Pemaaf bisa menerima sholat Kang Tejo meski lidahnya masih belum luwes memanjatkan doa-doa berbahasa Arab. Sama seperti diriku J
Mungkin disinilah Kang Tejo betah belajar sholat bersamaku. Karena kami merasa sama-sama memiliki lidah kaku mengucapkan doa dalam bahasa Arab, walau lidah kami sesungguhnya tak bertulang.
Nah, ketika telpon semalam aku sempatkan bertanya pada Kang Tejo.
“Piye Kang sholat sampeyan. Masih lanjut tho?”
“Alhamdulillah mas Bekti, tambah rajin. Ha ha ha ha.”
Tawanya diujung telpon sana terasa lepas sekali. Plong ndak ada beban.
“Alhamdulillah kalau begitu, Kang. Ojo sampe bolong-bolong yo, Kang. Sing rajin sholatnya supaya makin disayang Gusti Allah.”
“Iyo mas Bekti, terimakasih waktu itu aku diajari sholat. Kalau ndak kenal sampeyan mungkin aku ora iso sholat sampai sekarang, mas.”
Aku hanya tersenyum mendengar pengakuan Kang Tejo. Dan kutanya:
“Lha sekarang sampeyan sholatnya di masjid mana?”
“Oh anu mas, itu lho … Anu mas Bekti di deket rumah.”
“Nama masjidnya apa, Kang”
“Nnggg … Anu mas, opo yo, kok lali aku.”
“Lha sampeyan iki piye tho, Kang. Sholat di masjid kok ndak tau nama masjidnya. Jangan-jangan sampeyan ndak pernah sholat di masjid yo?”
“He he he, iyo mas Bekti, ndak pernah.”
“Lha… baru ngaku sampeyan. Kenapa ndak pernah sholat di masjid?”
“Anu mas Bekti … Itu lho …”
“Opo, Kang. Kok ini itu, nganu-nganu saja. Ada apa?”
“Aku ndak punya sarung mas … he he he.”
“Duh Gusti …, sampeyan iku ndak punya sarung saja kok ya ndak sholat ke masjid. Pakai celana panjang kan bisa.”
“Oh, apa iya bisa mas Bekti? Aku kira sholat di masjid harus pakai sarung.”
“OOOAALLAAAA Kang, kata siapa itu kang? Sampeyan iki kok yo ndak tanya saya dari dulu.”
Sudah 8 tahun sejak Kang Tejo bisa sholat 5 waktu, tak sehari pun dia ke masjid. Alasan yang sangat sederhana: karena ketidaktahuannya bahwa sholat di masjid itu tidak harus pakai sarung.
Kami pun semalam tertawa bersama diujung HP masing-masing. Seolah ini adalah pernyataan bahwa kami berdua masih perlu belajar banyak tentang Islam. Dengan satu tujuan: supaya disayang Gusti Allah.
sumber: AjariAkuIslam.com