Anak belajar dengan mengikuti kehendak Tuhannya, bukan kemauan ortu atau gurunya semata!

Komentar · 1490 Tampilan

Apakah rumah lantas menjadi tempat paling awal dari matinya kekuatan dan kemampuan kecerdasan anak? Apakah sekolah juga berkontribusi pada penghambat mekarnya energi berlimpah ini? Tulisan ini menjawab dengan lugas (tulisan kedua dari 3 bagian, 2/3).

Penghambatan energi berlimpah dalam jiwa

Lingkungan yang otoriter. Yang dimaksud dengan lingkungan yang otoriter ialah lingkungan dimana kemauan atau kehendak anak tidak didengarkan hanya karena yang berkuasa adalah kemauan atau kehendak dari orang tua. Ini tidak berarti bahwa orang tua tak boleh punya kemauan atau kehendak di dalam keluarga, atau bahwa apapun kemauan atau kehendak anak adalah segala-galanya. Tidak demikian maksudnya.

Lingkungan yang ideal bagi anak yang cerdas ialah lingkungan dimana tercipta kesatuan kemauan atau kehendak antara orang tua dan anak di dalam keluarga. Dalam lingkungan tersebut, energi berlimpah dalam jiwa anak mengalir bersama-sama energi jiwa orang tuanya sehingga persatuan keduanya membentuk suatu energi jiwa keluarga yang sangat besar.

Ketika ini tercipta, orang luar melihat bahwa antara orang tua dan anak terjalin suatu ikatan yang luar biasa. Antara orang tua dan anak saling tercipta saling pengertian yang hebat dan dalam. Anak mengerti kehendak orang tuanya, dan orang tua mengerti kebutuhan anaknya. Anak menghormati orang tuanya, dan orang tua menyayangi anaknya.

Ini berbeda dari lingkungan yang tak harmonis dimana orang tua suka menuntut anaknya untuk menghormati mereka, dan anak bertanya-tanya mengapa orang tuanya tak menyayangi dirinya. Lingkungan yang tak harmonis ini tercipta ketika kehendak atau kemauan yang terkuatlah yang berkuasa di dalam rumah. Alat ukurnya ialah yang terkuat. Rumah lantas menjadi adu kekuatan antar kemauan atau kehendak.

Apapun hasil dari adu kekuatan kehendak itu, semuanya berdampak buruk terhadap anak yang cerdas. Jika dia kalah, dia akan kehilangan rasa kepercayaan dirinya. Jika dia menang, dia tak akan pernah punya pengalaman untuk mendengar dan menghargai kehendak orang lain. Jika dia melarikan diri, dia akan kehilangan rasa betah terhadap rumahnya dan perasaannya tak lagi ada di dalam rumah. Menjadi homeless.

Adu kekuatan kehendak ini bisa berlangsung secara terbuka atau tersembunyi. Terbuka ketika anak dan orang tua secara terbuka mengajukan kehendaknya masing-masing dan beradu kekuatan tentang kehendak siapa yang harus menang dan menjadi keputusan final. Tersembunyi ketika anak membiarkan kehendak orang tuanya menang secara terbuka, namun pada saat yang sama, anak masih tetap tak mau melepaskan kehendaknya dan terus menyimpan api permusuhan terhadap kehendak orang tuanya.

Entah terbuka atau tersembunyi, ketika adu kekuatan kehendak ini berlangsung terus-menerus, semua itu akan menciptakan pengalaman ketidakbahagiaan di dalam diri anak. Pengalaman ketidakbahagiaan ini akan menggelapkan batin anak dan menjadi black hole yang menghisap energi berlimpah di dalam diri anak.

Sampai tingkat tertentu, keberlimpahan energi jiwa di dalam diri anak bisa menetralisir pengalaman ketidakbahagiaan itu. Namun, melampaui batas tertentu, pengalaman ketidakbahagiaan itu akan tersimpan di dalam memori jangka panjang anak, dan itu membentuk seluruh dunia batin anak ke depan.

Lingkungan yang otoriter seringkali terbangun ketika perasaan dan kata-kata yang diungkapkan dan diucapkan oleh orang tua kepada anak ialah ”Kami lebih tahu daripada kamu!” Adu kehendak terjadi ketika orang tua memposisikan dirinya sebagai pihak yang lebih tinggi di dalam rumah dan terus-menerus mengulang-ulang perasaan dan pernyataan itu ke hadapan anaknya.

Seakan-akan anak terlahir hanya untuk mengikuti kehendak orang tuanya. Lebih buruk lagi, orang tua sering menegaskan hal tersebut dengan mengutip dalil agama. Ini sesuatu yang salah.

Anak hadir ke muka bumi bukan untuk mengikuti kehendak orang tuanya, namun untuk mengikuti kehendak Tuhannya.

Dan apakah kehendak Tuhan  itu? Ialah tumbuh berkembangnya apa yang disimpan Tuhan di dalam diri sang anak, yaitu kecerdasannya. Orang tua hanyalah membantu proses tumbuh kembang kekuatan potensial itu, dan bukan menghambatnya, apalagi melenyapkannya!

Tugas mulia orang tua ialah membantu mekarnya kekuatan dan kemampuan kecerdasan anak, sebagaimana juga membantu mekarnya kekuatan dan kemampuan fisik anak.

Sayangnya, di dalam lingkungan keluarga yang otoriter, hal inilah yang justru dilupakan. Rumah lantas menjadi tempat paling awal dari matinya kekuatan dan kemampuan kecerdasan anak. Apakah sekolah juga berkontribusi pada penghambat mekarnya energi berlimpah ini?

 

Studi Kasus B:

Suatu hari, Dhifa, murid kelas 4 SD di suatu sekolah favorit (RSBI) di Kota Bogor, mengeluhkan tentang jawaban matematika yang selalu disalahkan oleh guru kelasnya. Dia menjawab soal berikut:

11 x 36245 = 398695 tanpa memberikan penjelasan seperti yang dilakukan oleh gurunya. Dhifa menghitung soal tersebut dengan cara:

11 x 36245

36245 Dhifa menulis digit terakhir jawaban adalah 5

5+4=9

4+2=6

2+6=8

6+3=9

3+0=3

Jadi jawaban 11 x 36245 adalah 398695

Tetapi jawaban yang diberikan Dhifa dianggap salah oleh gurunya karena tidak sama dengan cara yang diajarkan gurunya. Gurunya mengajarkan dengan cara:

00011

36245

-------- x

036245

36245

-------- +

398695

Disebabkan perbedaan cara menjawab itulah maka jawaban Dhifa dianggap salah meskipun secara nalar terbukti jawaban Dhifa sama dengan jawaban gurunya. Inilah salah satu bentuk penghambat mekarnya energi berlimpah disebabkan sifat otoriter sang guru.

Energi Dhifa saat belajar matematika di tempat kami sudah meredup. Namun masih tertolong dengan kami berikan model pembelajaran Matematika Gaya Bebas, atau lebih dikenal sebagai Matematika Ajaib saat pertama kali Dhifa mempelajari Matematika Dasar.

Sumber: Matematika Ajaib

Komentar